isi naskah Surat Perintah Sebelas Maret, pemilu masa orde baru dari tahun 1971 hingga 1997, perbedaan pemilu masa orde baru dan masa reformasi (sekarang) menurut teori Herbert Spiro, Makna de-Soekarnosasi dan upaya-upayanya

1.      Bagaimana isi naskah Surat Perintah Sebelas Maret?

SURAT PERINTAH

I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966

II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja

III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:

1.      Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.

2.      Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.

3.       Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.

IV. Selesai.

Djakarta, 11 Maret 1966






Sumber: http://populer123.com/isi-supersemar-surat-perintah-sebelas-maret, https://id.wikipedia.org/wiki/Surat_Perintah_Sebelas_Maret

2.      Sebutkan peserta pemilu masa orde baru dari tahun 1971 hingga 1997!
Pemilu Tahun 1971
Pemilu 1971 diikuti oleh 10 kontestan, yaitu:
1.         Partai Katolik
2.         Partai Syarikat Islam Indonesia
3.         Partai Nahdlatul Ulama
4.         Partai Muslimin Indonesia
5.         Golongan Karya
6.         Partai Kristen Indonesia
7.         Partai Musyawarah Rakyat Banyak
8.         Partai Nasional Indonesia
9.         Partai Islam PERTI
10.     Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.

Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.

Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.

Pemilu Tahun 1977-1997
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti oleh 3 kontestan yang sama, yaitu:
1.      Partai Persatuan Pembangunan
2.      Golongan Karya
3.      Partai Demokrasi Indonesia

·         Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.

PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1971)
Keterangan
1.
Golkar
39.750.096
62,11
232
62,80
- 0,69
2.
PPP
18.743.491
29,29
99
27,12
+ 2,17
3.
PDI
5.504.757
8,60
29
10,08
- 1,48
Jumlah
63.998.344
100,00
360
100,00
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
No.
Partai
Suara DPR
%
Kursi
% (1977)
Keterangan
1.
Golkar
48.334.724
64,34
242
62,11
+ 2,23
2.
PPP
20.871.880
27,78
94
29,29
- 1,51
3.
PDI
5.919.702
7,88
24
8,60
- 0,72
Jumlah
75.126.306
100,00
364
100,00
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1982)
Keterangan
1.
Golkar
62.783.680
73,16
299
68,34
+ 8,82
2.
PPP
13.701.428
15,97
61
27,78
- 11,81
3.
PDI
9.384.708
10,87
40
7,88
+ 2,99
Jumlah
85.869.816
100,00
400
Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka'bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1987)
Keterangan
1.
Golkar
66.599.331
68,10
282
73,16
- 5,06
2.
PPP
16.624.647
17,01
62
15,97
+ 1,04
3.
PDI
14.565.556
14,89
56
10,87
+ 4.02
Jumlah
97.789.534
100,00
400
100,00
 Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1992)
Keterangan
1.
Golkar
84.187.907
74,51
325
68,10
+ 6,41
2.
PPP
25.340.028
22,43
89
17,00
+ 5,43
3.
PDI
3.463.225
3,06
11
14,90
- 11,84
Jumlah
112.991.150
100,00
425
100,00
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
 Sumber: http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/10/PEMILU-1977-1997/MzQz, https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_partai_politik_di_Indonesia

3.      Jelaskan perbedaan pemilu masa orde baru dan masa reformasi (sekarang) menurut teori Herbert Spiro!
Perbandingan sistem politik artinya membandingkan sistem politik antara dua negara atau antara dua rezim kepemimpinan. Banyak teori yang dapat kita gunakan untuk membandingkan sistem politik. Mulai dari teorinya David Easton, Gabriel Almond, Herbert Spiro, dan lainnya. Namun pada makalah ini, penulis tidak akan melihat semua teori tersebut. Tetapi hanya akan menggunakan satu teori saja, yaitu teori sistem politik yang diperkenalkan oleh Herbert Spiro.
Herbert Spiro (1962), berangkat dari formulasi awal sistem politik David Easton, memberikan satu skema komprehensif bagi perbandingan politik. Spiro mendefinisikan sistem politik sebagai sebuah komunitas yang memproses berbagai isu. Isu-isu yang berhubungan dengan permasalahan kebutuhan, dan tujuan yang mungkin mengandung konsensus atau perbedaan pendapat. Isu-isu ini dibangkitkan dan ditangani lewat ”arus kebijakan” dalam empat fase yaitu Formulasi, Deliberasi, Resolusi, dan Solusi.
Herbert Spiro dalam membandingkan suatu isu tentunya melihat empat hal yaitu Stabilitas, Fleksibilitas, Efisiensi, dan Efektivitasnya. Dalam makalah ini, penulis akan membahas masalah Pemilu. Penulis akan membandingkan sistem Pemilu pada masa orde baru dan pada masa reformasi. Tentunya penulis akan melihat perbandingan melalui keempat hal yang telah disebutkan diatas.

Orde Baru
Pemilu dilakukan setiap lima tahn sekali untuk memilih anggota legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden. Masyarakat bebas memilih partai yang disukainya yang ikut dalam pemilu. Pada masa itu masyarakat hanyalah memilih partai. Anggota legislatif ditentukan oleh pemerintah yang berkuasa (Soeharto) berdasarkan daftar yang diajukan oleh panitia yang ditunjuk oleh presiden. Pada masa itu, panitia yang bertugas mencari calon anggota legislatif ialah militer di setiap daerah. Daftar nama calon itu kemudian diserahkan kepada presiden.
Biasanya setiap masa pemilihan, presiden selalu menyeleksi anggota legislatif tersebut. Ketika itu Presiden Soeharto dalam menentukan anggota legislatif melihat semua golongan dan suku (meskipun tidak semua suku terwakili). Artinya anggota legislatif harus sudah mewakili semua golongan masyarakat. Misalnya golongan petani, buruh, cendikiawan, budayawan, dan lain sebagainya. Selain itu, Presiden Soeharto juga melihat suku. Angota legislatif selalu diupayakan mewakili semua suku yang ada di Indonesia, meskipun selalu diodominasi oleh suku jawa dan militer.
Untuk pemilihan presiden dilakukan oleh anggota DPR dan MPR. Anggota DPR dan MPR yang telah terpilihlah yang kemudian akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Anggota DPR dan MPR yang awalnya dipilih oleh panitia (namun sekehendak presiden) merasa behutang budi kepada Presiden Soeharto. Hal tersebut menyebabkan anggota DPR dan MPR membalas budi dengan menetapkan Soeharto kembali menjadi Presiden. Sehingga selama orde baru Presiden dijabat oleh Soeharto dan sistem pemilihan brlangsung seperti itu selama 32 tahun masa orde baru.

Orde Reformasi
Pemilu juga masih diadakan setiap lima tahun sekali, seperti dimasa orde baru. Namun sistemnya sudah berbeda dengan sistem pemilu pada masa orde baru. Pada masa sekarang, pemilihan umum diadakan secara langsung. Dimana semua anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD) dipilih langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh panitia yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, presiden dan wakil presiden juga sudah dipilih secara langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh anggota DPR dan MPR.
Bukan hanya sistem pemilunya yang berbeda, tapi masa jabatannya jga sudah berubah. Jika pada masa orde baru, presiden bisa menjabat sampai 32 tahun, maka pada masa sekarang hanya dua periode (10 tahun). Jadi tidak akan ada lagi pemimpin seumur hidup di negeri ini.

Demikianlah perbedaan antara sistem pemilu pada masa orde baru dengan masa reformasi (sekarang). Perbedaan tersebut akan dikaitkan dengan teori Herbert Spiro tadi. Kita akan membandingkan kedua sistem tersebut dengan melihat keempat hal yang disebutkan tadi, yatiu Stabilitas, Fleksibilitas, Efisiensi, dan Efektivitasnya.

Stabilitas
Jika ditinjau dari segi stabilitas, maka penulis melihat bahwa pemilu pada masa orde baru lebih stabil dari masa sekarang. Pemilu sekarang kerap kali menimbulkan konflik antara pihak yang kalah dengan pihak yang menang. Sebab pihak yang kalah sering kali tidak mau menerima kelalahan dengan lapang dada. Selain itu hasil dari pemilihan juga tidak seperti dulu, khususnya legislatif. Jika dulu anggota legislatif mewakili semua golongan, maka sekarang belum tentu. Kebanyakan anggota legislatif adalah orang kaya dan pengusaha, karena orang miskin sulit untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Sebab untuk masuk sebagai caleg, harus membayar mahal kepada partai.

Fleksibilitas
Pemilu pada masa orde baru lebih fleksibel daripada pemilu masa sekarang. Hal tersebut terjadi karena sistem pada amsa orde baru cenderung stagnan. Selain itu partainya juga hany itu saja. Jadi masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam mengenali partai. Berbeda dengan sekarang, pemilu diikuti oleh puluhan partai (tentunya kebanyakan adalah partai baru). Banyak masyarakat yang tidak mengenali partai baru tersebut, khususnya masyarakat pedesaan dan masyarakat yang berpendidikan rendah.

Efisiensi
Pemilu pada masa orde baru tidak memakan waktu yang banyak karena hanya satu kali saja. Sedangkan pada masa sekarang pemilu diadakan dalam dua tahap, bahkan sampai tiga tahap seperti yang terjadi pada pemilu tahun 2004 lalu. Tahapan pemilu tersebut juga membutuhkan tenggang waktu yang tidak pendek, tapi mencapai dua sampai tiga bulan. Pada pemilu tahun 2004 lalu misalnya. Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada bulan april, sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru dilaksanakan pada bulan Juli. Kemudian pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua dilaksanakan pada bulan september. Jadi jika dikalkulasikan, maka negeri ini butuh waktu hampir satu tahun untuk melaksanakan pemilu. Berbeda dengan sistem orde baru, yang hanya butuh waktu dalam jumlah bulan dan itupun tidak sampai lebih dari dua bulan. Jadi pemilu pada masa orde baru memang lebih efisien dibandingkan dengan pemilu pada masa sekarang.

Efektivitas
Pemilu pada masa ferormasi membutuhkan biaya yang cukup besar, mencapai triliunan rupiah. Itu belum termasuk biaya untuk melakukan pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten kota. Untuk pemilihan umum harus diadakan dua kali, yaitu pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden. Sementara pada masa orde baru pemilu hanya berlangsung satu kali. Jadi tidak membutuhkan biaya yang sebanyak pemilu sekarang. Belum lagi pemilihan kepala daerah. Jika pada masa orde baru, kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat, jadi tidak membutuhkan biaya untuk melakukan proses pilkada seperti yang terjadi sekarang. Jadi jika kita telaah, memang pemilu di msa orde baru lebih irit penggunaan biayanya. Namun masyarakat tidak bebas memilih, karena yang terpilih pasti itu-itu saja. Sehingga hasil pemilihan kerap kali tidak sesuai dengan harapan masyarakat.


Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pemilu pada masa orde baru jauh lebih baik dibandingkan dengan pemilu pada masa sekarang (reformasi), jika dilihat dari segi sistem pelaksanaan. Namun ada juga dampak positifnya, yaitu masyarakat lebih bebas menentukan pilihannya yang sesuai dengan harapannya.

Sumber: http://ahmadsilabanleader2024.blogspot.co.id/2009/04/saatnya-sby-pindah-ke-lain-hati.html
4.      Jelaskan maksud dari de-Soekarnosasi dan upaya-upayanya!
De-Soekarnoisasi adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto untuk memperkecil peranan dan kehadiran Soekarno dalam sejarah dan dari ingatan bangsa Indonesia juga untuk menghilangkan pengkultusan dirinya.
Langkah-langkah tersebut dilakukan antara lain dengan jalan mengganti nama Soekarno yang diberikan pada berbagai tempat atau bangunan di Indonesia. Misalnya, Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan, kota Soekarnopura (sebelumnya bernama Hollandia) diubah namanya menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diubah namanya menjadi Puncak Jaya. Selain itu, pada saat Soekarno meninggal, keinginannya untuk dikebumikan di Istana Batu Tulis, Bogor tidak dipenuhi oleh pemerintah. Sebaliknya, Soekarno dikebumikan di Blitar, tempat tinggal kedua orang tua beserta kakaknya, Ibu Wardojo.
Upaya-upaya lain yang lebih fundamental dilakukan dengan memperkecil peranan Soekarno dalam mencetuskan Pancasila serta tanggal kelahiran pemikiran yang kemudian dijadikan ideologi nasional pada 1 Juni 1945. Nugroho Notosusanto, yang merupakan sejarawan resmi Orde Baru dan yang sangat dekat dengan militer, mengajukan pendapat bahwa tokoh utama yang mencetuskan Pancasila bukanlah Bung Karno, melainkan Mr. Mohammad Yamin, pada tanggal 29 Mei 1945. Pendapat resmi inilah yang selalu dipegang selama masa Orde Baru, dan dicoba ditanamkan lewat program Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/De-Soekarnoisasi