Tuntutan desentralisasi/otonomi daerah menjadi hal yang penting pada Masa Reformasi??

Tuntutan desentralisasi/otonomi daerah menjadi hal yang penting pada Masa Reformasi??
            Perlunya suatu bentuk desentralisasi ternyata universal. Bahkan negara-negara yang paling kecilpun mempunyai semacam pemerintahan lokal dengan suatu tingkat otonomi, (BC.Smi th: 1985 ). Keperluan suatu bentuk desentralisasi seperti itu dapat dipahami, kerena desentralisasi tidak saja dipandang sebagai penolakan terhadap pemerintahaan yang sentralistik tetapi lebih dari itu, susunan organisasi yang bercorak desentralistik mempergunakan desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi dan dapat di jumpai baik pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal.
Tuntutan akan desentralisasi serupa itu bisa jadi di mungkinkan oleh kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, permerataan dan kesejangan hak-hak antara kelompok mayoritas dengan monaritas. Bisa juga karena alasan lainya seperti apa yang dikemukakan W. Bonney Rusth, (1969 ), bahwa pemerintahan yang sentralistik menjadi kurang populer karena tidak mampuan untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen- aspirasi lokal. Salah satu alasan di kemukakannya bahwa warga negara masyarakat merasa lebih aman dan tentram dengan badan pemerintahan lokal yang dekat dengan mereka, baik secara pisik dan juga secara psyokologis.
            Akan tetapi, pengertian atas respon atas tuntutan politik haruslah diartikan sebagai pemenuhan atas tuntutan masyarakat minoritas untuk berotonomi dan sekaligus sebagai suatu koreksi terhadap pemerintahan yang terlalu sentralistik yang sukar menangkap sentimen lokal. Adakalanya penyelengaraan desentralisasi merupakan keinginan dari pemerintah pusat dan yang lebih tajam adalah merupakan amanat dari konstitusi suatu negara seperti Indonesia, dimana wilayah negara dibagi dalam daerah besar dan kecil.
           
Desentralisasi di Indonesia - terutama sejak sesudah kemerdekaan - merupakan kewajiban dan bukan lahir atas tuntuan masyarakat atau lahir sebagai reaksi atas ketidak puasan umum terhadap pemerintahan pusat. Otonomi Daerah (desentralisasi) berlansung dalam waktu puluhan tahun lebih dominan kewajiban dan bukan sebagai hak. Keadaan itu bisa dipahami karena otonomi daerah tumbuh dan berkembang ditengah kuatnya cengkraman sentralisasi pemerintahan. Di sisi lain, pemerintahan yang sentralistik dapat di mengerti, mengapa harus dilakukan sentralisasi suatu pemerintahan. Seperti di negara-negara yang berkembang misalnya,atau juga negara-negara bekas jajahan, dimana sering dikemukakan/dituduhkan bahwa daerah tidak mampu atau administrasi perpajakan didaerah lemah, sehingga perlu dipusatkan. Dan banyak orang atau suatu penyelenggaraan pemerintahan, kurang menyadari, bahwa secara tidak lansung sikap itu telah membentuk kesenjangan itu sendiri yang dalam jangka panjang semakin sukar untuk diubah.
Karena seolah-olah para perencana, pelaksana dan pengendali di pusat telah merasakan bahwa hal itu yang dipandang baik dalam penyelenggaraan pemerntahan dan pembangunan negara. Padahal suatu pemerintahan yang begitu sentralistik juga mendatangkan kesenjangan-kesenjangan dalam banyak bidang. Ini terutama dalam negara yang memiliki perebedaan-perbedaan ethinis, kepercayaan dan tingkat ekonomi. Atau setidaknya suatu pemerintahan yang begitu sentralistik begitu sulit menyerap aspirasi lokal.
            Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada 1997 mendorong keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana telah di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 sebagai sebutan bagi pemerintah Provinsi/kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah.
Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.
            Di era otonomi daerah sekarang ini birokrasi di tingkat lokal sudah mengalami masa transisional ( peralihan) dari pardigma birokrasi orde baru yang sentralistik, ke paradigma reformasi yang mendukung sentralisasi dan demokratisasi. Namun tampaknya di masa otonomi daerah ini khususnya di tingkat lokal harus dicermati karena cenderung menjauh dari semangat reformasi, meski mulai muncul pula Good Practices yang demokratik di beberapa daerah. Saat ini yang lebih menonjol adalah kepentingan elit lokal ketimbang isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik. Otonomi daerah seakan menjadi otonominya elit lokal untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan yang acapkali ditempuhnya melalui transaksi-transaksi politik rendahan.
            Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan. Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang pertu diperhitungkan dalam kebijakan reformasi birokrasi adalah koplitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara baik unsur aparatur negara maupun warga negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa.
            Dengan adanya otonomi daerah sesuai dengan UU No 22 Tahun 1999 maka banyak perubahan yang terjadi dalam segi tatanan kepemerintahan di Indonesia atau lebih dikenal dengan Reformasi Birokrasi, artinya terjadi perubahan dari segi birokrasi untuk menuju birokrasi yang baik atau dikenal Good Governance. Pada masa kepemerintahan Soeharto atau orde baru segala kebijakan harus berdasar dari pemerintah pusat ini dikarenakan pada waktu sebelum adanya otonomi daerah menggunakan prinsip desentarlisasi, ini sangat berbeda dengan sekarang ini segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu daerah merupakan tanggung jawab daerah dan daerah tersebut berhak untuk mengambil keputusan dan kebijakan. Kita sekarang sering mendengar istilah perda, ini merupakan realita dari otonomi daerah bahwa suatu daerah berhak mengeluarkan peraturan terkait permasalahan yang terjadi di daerah dan ini sangat jauh sekali berbeda dengan masa dulu sebelum adanya otonomi daerah.

            Dengan adanya otonomi daerah diharapkan birokrasi dapat menjalankan amanat rakyat dengan baik, akan tetapi pada kenyataannya penyakit lama pada orde baru tidak pernah hilang bahkan pada zaman sekarang sudah mendarah daging, penyalahgunaan wewenang merupakan permasalah yang uatama sehingga menimbulkan penyakit birokrat, penyakit tersebit ialah KKN. Seperti yang kita ketahui sampai sekarang ini permasalah korupsi masih menjadi sorotan yang utama. Tak terhitung sudah berapa banyak uang rakyat yang habis percuma dirampok oleh para koruptor, contoh kasus korupsi yang menghebohkan sampai saat ini diantaranya kasus Bank Century, mavia pajak Gayus Tambunan, wisma atlit palembang serta banyak lagi kasus korupsi yang lain. Ini membuktikan adanya kesamaan antara birokrasi pada masa sebelum dan sesudah adanya otonomi daerah, para birokrat cenderung melakukan peyalahgunaan kewenangan dan memperkaya diri.

http://andry7supriady.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

http://www.boyyendratamin.com/2011/06/tuntuntan-akan-desentralisasi-otonomi.html

0 komentar:

Posting Komentar