Dalang G 30 S / PKI, Latar Belakang APRA, Dewan Akibat PRRI dan Permesta, Upaya memperjuangkan Irian Baratm Pemberontakan AOI Kebumen

Jawaban Soal dalam gambar

1
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sejak dikelarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 telah memungkinkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin D.N Aidit untuk memperluas pengaruhnya dalam pencaturan politik di Indonesia. Kondisi sosial, politik dan ekonomi nasional yang tidak menentu berhasil dimanfaatkan oleh PKI hanya dengan membangun simpati di tengah masyarakat lapisan bawah yang mengalami tekanan berat.
Dari beberapa polemik G30S/PKI, terdapat beberapa versi yang terungkap, namun masih harus diuji kebenarannya. Adapun beberapa versi tersebut adalah sebagai berikut:
1.Pertama, versi yang menyebutkan PKI adalah dalang dari peristiwa Gerakan 30 September. Penganut versi tersebut berpendapat bahwa PKI telah membangun kekuatan secara sistematis. Termasuk menginfiltrasi clan memperalat oknum-oknum
ABRI dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya.
Bukti pendukung versi ini adalah kehadiran Biro khusus yang dipimpin oleh Syam Kamaruzaman, sebuah organ rahasia clan nonstructural di bawah D.N. Aidit. Bukti lain adalah dukungan terbuka dari surat kabar “Harian Rakyat” pads 2 Oktober terhadap
Gerakan 30 September. Selain itu, bukti versi ini diperkuat oleh adanya pengakuan dari para pemimpin PKI di depan Mahkamah Militer luar Biasa (Mahmilub). Njono, misalnya mengaku agar anggota ormas PKI dilatih sebagai tenaga cadangan. Versi ini
terdapat dalam “buku putih” yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara, Republik Indonesia maupun buku-buku sejarah yang diajarkan disekolah-sekolah.
Menurut hasil kesimpulan pembelaan Nyono dimuka Mahmilub pada tanggal 19 Februari 1966, PKI-lah yang berada dibalik G30S, dengan dalih membela Presiden Soekarno, secara pribadi maupun untuk mengamankan “REVOLUSI” yang sedang dijalankan Presiden Soekarno. Peristiwa G30S merupakan puncak dari aksi revolusi atau kudeta PKI di Indonesia, yang sebelumnya sudah didahului dengan berbagai aksi kekerasan (pembunuhan) terhadap warga masyarakat diberbagai wilayah indonesia, yang menentang keberadaan komunis (PKI).
Bukti kesaksian Menlu Subandrio yang sekaligus kepala BPI (Badan Pusat Intelejen) mengatakan bahwa D.N Aidit dan Untung Sotopo terlibat dalam aksi G30S, dimana kedua orang tersebut adalah tokoh-tokoh utama PKI. Tetap dengan dalih yang sama, seperti pengakuan Nyono, bahwa ada Dewan Jenderal yang berniat menggulingkan kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun kalau Nyono jelas-jelas mengatakan bahwa PKI yang membasmi Dewan Jenderal demi alasannya.
Kegagalan G30S/PKI merupakan pukulan yang paling telak bagi sejarah perjuangan kaum komunis di Indonesia. Kehancuran kekuatan militer G30S/PKI membuat D.N. Aidit lari ke Jawa Tengah sedangkan Sjam, Pono dan Brigjen Suparjo mundur kebasis camp didaerah perkebunan Pondok Gede. Pada tanggal 3 Oktober 1965, Sjam dan Pono menghadap Sudisman untuk memberikan keterangan tentang gagalnya PKI di Kayu Awet, Rawamangun, Jakarta. Setelah mendengar laporan tersebut, Sudisman memerintahkan Pono untuk pergi ke Jawa Tengah untuk melaporkan situasi terakhir di Jakarta kepada D.N. Aidit.
Pada hari yang sama, D.N. Aidit di Jawa Tengah telah memerintahkan Pono kembali ke Jakarta membawa instruksi lisan kepada Sudisman dan sepucuk surat kepada Presiden Soekarno. Instruksi kepada Sudisman adalah agar anggota-angota CC PKI yang masih ada di Jakarta melakukan upaya penyelamatan partai dan Nyono dapat mewakili D.N. Aidit menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Bogor pada taggal 8 Oktober 1965. Aidit beralasan, dirinya tidak dapat menghadiri sidang itu karena tidak adanya transportasi ke Bogor dari Jawa Tengah.
Dalam Sidang Paripurna di Bogor tanggal 8 Oktober 1965, Nyono membacakan teks yang intinya menyebutkan bahwa bahwa PKI sama sekali tidak terlibat dalam apa yang disebut gerakan 30 September 1965. Secara rahasia, beberapa pentolan PKI juga mengadakan rapat yang membahas serangkaian peristiwa terahir setelah serangkaian G30S PKI dan melakukan konsolidasi partai. tanggal 12 Oktober 1965, dirumah Dargo, tokoh PKI Solo, dilakukan rapat gelap antara D.N. Aidit, Pono dan Munir (anggota PKI yang baru tiba dari Jawa Timur).
Dalam rapat itu dikatakan bahwa kegagalan gerakan September akan membuka kedok keterlibatan PKI. Keberadaan PKI melakukan perjuangan secara parlementer sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Munir melakukan usulan untuk dilakukan gerakan bersenjata, usulan Munir pada prinsipnya disetujui oleh peserta rapat. Aidit menugaskan Ponjo untuk meneliti daerah mana saja yang memungkinkan untuk dijadikan basis PKI guna melaksanakan perjuangan bersenjata, daerah yang diusulkan untuk ditinjau adalah Merapi, Merbabu serta Kabupaten Boyolali, Semarang dan Klaten.
Belum lagi kegiatan itu direalisasikan, gerakan pasukan RPKAD telah memasuki kota Solo. Walau PKI berusaha melawan, namun pada operasi pembersihan yang dilakukan RPKAD di Boyolali, DN Aidit terbunuh. Kejadian demi kejadian berlangsung dengan amat cepat. Rakyat sudah tidak percaya lagi pada PKI. Rakyat bersama-sama dengan mahasiswa dan militer yang masih setia pada konstitusi negara merapatkan barisan dan bergabung dalam satu front melawan PKI. ahirnya legalisasi PKI sudak tidak mampu dipertahankan oleh pengikutnya.Lewat ketetapan MPRS-RI. NO.XXV/MPRS/1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Bukan itu saja, lewat ketetapan yang sama, paham Komunis dan Marxis-Leninisme dinyatakan haram berada di negara Indonesia.
2.Kedua, ada versi yang menyebutkan bahwa dalang dari peristiwa Gerakan 30 September merupakan akibat dari konflik intern di dalam tubuh Angkatan Darat. Versi ini dikemukakan oleh Ben Anderson clan Ruth Mc Vey dalam kertas kerjanya yang
kemudian dikenal sebagai Cornell Paper. Dalam versi ini kedua ahli tersebut menyatakan bahwa PKI tak memiliki motif melakukan kudeta karena saat itu situasi politik sangat menguntungkan PKI. Oleh karena itu, upaya terbaik PKI adalah mempertahankan status quo clan sebaliknya bukan mengacaukannya dengan peristiwa berdarah yang akan merugikan posisinya.
Dalam pandangan versi ini, peristiwa Gerakan 30 September adalah puncak kekecewaan dari berbagai perwira menengah Jawa atas kepemimpinan di AD. Para perwira “progresif” itu menilai bahwa para jendral AD “telah disilaukan oleh kehidupan Jakarta yang gemerlap” sehingga perlu “diingatkan”.
3.Ketiga, ada yang menyebutkan bahwa Letjen Soeharto adalah orang yang sesungguhnya berada dibalik peristiwa Gerakan 30 September. Mereka lantas menyodorkan sejumlah fakta. Sebagai Panglima Kostrad ia adalah jendral yang biasa mewakili Panglima AD bila yang bersangkutan pergi ke luar negeri dan pemegang komando pasukan. Namun, dalam posisi itu, Soeharto tak masuk dalam daftar korban penculikan. Logikanya, pihak lawan harus mengutamakan pembersihan terhadap orang-orang yang memiliki pasukan dan memegang komando. Kecuali bila ia dianggap sebagai “kawan” atau setidak-tidaknya diperkirakan akan bersimpati terhadap gerakan tersebut.
Dikatakan bahwa Soeharto adalah orang yang haus akan kekuasaan, dapat dilihat ketika ia berturut-turut menjadi Presiden sampai 32 tahun lamanya. Pada saat itu, halangan Soeharto untuk mencapai tampuk kekuasaan adalah senior-senior AD-nya dan PKI yang dekat dengan Soekarno. G30S adalah cara bagus untuk menyingkirkan dua musuhnya sekaligus. Dengan terbunuhnya panglima-panglima AD, ia memiliki alasan untuk membasmi PKI yang dituduh melakukannya. Kedekatannya pada Letkol Untung, pelaksana lapangan operasi G30S, membuat tuduhan terhadap dirinya semakin nyata. Setelah Orde Baru berakhir, banyak sekali buku yang terbit mengacu pada G30S/Soeharto. Belum memiliki bukti, yang terdapat di sana hanyalah berupa prediksi-prediksi yang logis.
4.Keempat, versi lain yang menyebutkan bahwa Gerakan 30 September terjadi karena adanya campur Langan Bari Central Intelligence Agency (CIA). Dinas intelejen Amerika Serikat itu dianggap memprovokasi PKI agar melakukan kudeta. Tapi, kudeta itu dikondisikan sedemikian rupa supaya berlangsung secara premature. Dengan begitu, PKI bisa langsung dihancurkan.
Pada saat Perang Dingin, kepentingan AS jelas sekali, yaitu untuk mencegah sebuah negara menjadi negara komunis atau pro-komunis. Hal ini telah terbukti pada intervensinya di Korea maupun Vietnam. PKI pada saat itu merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Setelah operasi G30S berhasil menyingkirkan PKI (komunis) dan juga Soekarno (anti barat), Indonesia Orde Baru menggandeng erat kapitalisme AS. Artinya, dari hasil yang ditimbulkan, adalah sangat masuk akal bahwa CIA/AS adalah dalang di balik ini semua.
Versi ini dikemukakan oleh Peter Dale Scott, guru besar Universitas California, Amerika Serikat. Namun, menurut Audrey dan George Mc Turner Kahin dalam buku “Subversion as a Foreign Policy”, pihak Inggrislah yang paling memiliki motif untuk medesakkan perubahan politik di Indonesia. Alasannya, dengan perubahan politik, Inggris tidak perlu lagi mengucurkan dana besar-besaran untuk mempertahankan Malaysia dari politik confrontasi yang saat itu dijalankan pihak Indonesia.
5.Kelima, versi yang menyebutkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September adalah sebuah skenario Presiden Soekarno untuk melenyapkan oposiosi dari Para perwira tinggi yang menentang sikap politiknya. Versi ini dikemukakan oleh Anthony Dake, sejarawan Amerika Serikat. Kesimpulan tersebut didasarkan atas kesaksian Bambang Widjonarko, ajudan Presiden, di Mahmilub. Pihak Amerika Serikat juga percaya dengan versi tersebut, terutama karena kemunculan Soekarno di Pangkalan Halim Perdanakusuma, perlindungannya kepada sejumlah pemimpin PKI, dan ketidakmampuannya untuk memperlihatkan simpati atas terbunuhnya pars jendral.
6.Dan versi terakhir yang menyebutkan bahwa Presiden Soekarno ikut campur dalam peristiwa Gerakan 30 September. Menurut Prof CA Dake, Presiden Soekarno-lah yang menjadi mastermind, bukan PKI, bukan pula Soeharto. Dake juga menepis tuduhan banyak pihak bahwa Amerika berkonspirasi dengan jenderal-jenderal kanan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. bahkan menyebut Presiden Soekarno sebenarnya mengetahui rencana PKI sebelumnya. Sebagai indikasi, adanya “Surat rahasia” yang diberikan kepada Presiden Soekarno di seta-seta scars pertemuan persatuan ahli teknik di Senayan, Jakarta pada 30 September 1965. Surat tersebut konon berasal dart kolonel Untung Sutopo.
Versi ini terdapat dalam kumpulan clokumen’ CIA yang diterbitkan pads 1995, yaitu “The Coup that Backfired” .Dokumen tersebut juga menyebutkan adanya pertemuan antara Brigjen Sugandhi, Kepala Penerangan Hankam, dan Presiden Soekarno pada 30 September 1965 Siang. Dalam pertemuan itu, Brigjen Sugandhi memberitahukan tentang rencana kudeta PKI yang diketahuinya dari pembicaraannya dengan D.N. Aidit dan Sudisman. Tap!, konon, Presiden Soekarno justru marsh dan menyebut Sugandhi sebagai seorang komunisfobia. Presiden Soekarno kemudian memerintahkan Sugandhi untuk tutup mulut.
Lebih jauh W.F. Wertheim, sejarawan Belanda, mengatakan Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira AD yang terlibat Gerakan 36 September. Misalnya, Kolonel Untung Sutopo dan Kolonel Latief yang merupakan bekas anak bush clan dikenal dekat dengan Soeharto. Keterangan Soeharto yang berubah-ubah juga membangkitkan rasa curiga. Dalam wawancara dengan majalah “Der Spiegel”, Juni 1970, Soeharto mengaku s-Mpat berbincang dengan Kolonel Latief di RSPAD Gatot Subroto pads 30 September malam.
Namun, dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,” Soeharto menyatakan hanya melihat Kolonel Latief dari kejauhan. Berdasarkan pengakuan dari Kolonel Latief sendiri disebutkan bahwa memang pads malam itu ia bertemu dan melaporkan tentang rencana penculikan Para jendral AD kepada Soeharto. Namun, Soeharto tidak mengambil tindakan.
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin anti-komunis bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu “giliran PKI akan tiba. Soekarno berkata, “Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.” Pelaksana langsung operasi G30S adalah pasukan Cakrabirawa (pasukan penjaga keamanan Presiden) yang dipimpin oleh Letkol Untung. Karena merasa dirinya akan dikudeta oleh jendera-jenderalnya, ia mengambil tindakan pencegahan dengan memerintahkan Cakrabirawa untuk membereskan mereka.
Pertanyaan apakah Soekarno terlibat atau mendalangi G30S, sebetulnya sudah dijawab Jenderal Soeharto pada Maret 1967 dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara). Dalam pidato itu Soeharto selaku pemegang Supersemar mengemukakan, Bung Karno tidak dapat digolongkan sebagai penggerak langsung, dalang, atau tokoh G30S/PKI.
Kesimpulan itu didasarkan empat fakta yaitu :
1.Pertama, laporan mantan Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dani 29 September 1965 mengenai adanya rasa tidak puas sejumlah perwira muda anak buah Brigjen Soepardjo terhadap pimpinan AD. Atas laporan itu, Presiden memerintahkan Omar Dani dan Soepardjo untuk menghadap lagi pada 3 Oktober 1965.
2.Kedua, laporan Brigjen Sugandhi kepada Presiden Soekarno pada 30 September 1965 bahwa PKI mungkin akan melakukan coup. Atas laporan itu, Presiden memarahi dan memperingatkan Sugandhi.
3.Ketiga, pada 30 September 1965 malam setelah mengunjungi Mubestek (Musyawarah Besar Teknik) di Istora Senayan, Presiden tidak bermalam di Istana, tetapi di rumah Ny Sari Dewi di Jalan Gatot Subroto. Pagi harinya, 1 Oktober sekitar pukul 06.00, Presiden bermaksud kembali ke Istana setelah minta pertimbangan dari pengawal dan mendapat laporan singkat mengenai peristiwa pagi itu.
4.Keempat, pada 30 September 1965 Presiden memanggil Jenderal Yani untuk menghadap pada 1 Oktober 1965. Rencananya akan membahas lagi tentang keberadaan Dewan Jenderal.
Dake menulis (dalam Sukarno File), penciutan staf Kedubes AS di Jakarta sebagai salah satu bukti ketidakterlibatan Washington. Itu keliru. Pengurangan staf Kedubes AS sengaja dilakukan dengan tujuan agar kekuatan antikomunis dan kaum ekstremis lain di Indonesia free to handle a confrontation, which they believe will come, without the incubus of being attacked as defenders of the neo-colonialists and imperialists (surat Dubes AS, Ellsworth Bunker kepada Presiden Lyndon B Johnson). Meski ada penciutan staf kedubes, Bunker menasihati Presiden Johnson agar Washington tetap aktif melakukan kontak rahasia dengan constructive elements of strength in Indonesia.
Lashmar dan Oliver dalam Britain Secret Propaganda War (1987) menulis, pada 1962 Presiden John F Kennedy dan PM Inggris Harold Macmillan mengadakan kesepakatan rahasia bahwa Soekarno harus dilikuidasi (baca: disingkirkan) karena dinilai telah mengancam stabilitas Asia Tenggara, selain telah membawa Indonesia ke gerbang komunisme.
Namun, menurut Lashmar dan Oliver, secara fisik kedua negara Barat itu tidak berperan nyata dalam G30S. Yang digulirkan AS dan Inggris, bersama Malaysia dan Selandia Baru, adalah perang propaganda untuk memperlemah kekuasaan Soekarno, memperkuat anasir-anasir kekuatan militer pro-Barat dan memisahkan rakyat Indonesia dari PKI. Isu-isu Dewan Jenderal, rencana AD menggulingkan kekuasaan Soekarno, sakitnya Presiden Soekarno serta Dokumen Gilchrist, semua itu, menurut Lashmar dan Oliver, tidak lebih hasil gemilang propaganda dan perang urat saraf negara-negara Barat, khususnya dinas intelijen M-16 dari Inggris.
Artikel singkat Prof Benedict R Anderson dan Ruth McVey, “What Happened in Indonesia?” (1978), menarik dicermati. Ia pun menggugat sangkaan keterlibatan Bung Karno. Semua orang tahu, Aidit Ketua Umum PKI amat dekat dengan Soekarno. Semua orang tahu jika PKI meyakini AD akan melancarkan kudeta, terutama karena mengkhawatirkan keadaan negara jika Soekarno wafat.
2.
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut

jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera.

Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga orange sebagai lambang negara Belanda

Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan.

Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada

8 Desember 1949

menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia

" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil

(APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa,

Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.

Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda

. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS .

C.    Jalannya Pemberontakan APRA

Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh

mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini telah

direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda

untuk menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden

mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah

penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan

, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling.

Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949

tersebut memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan

seperti apa yang diungkapkan padanya.

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah

sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS menghargai

negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif

terkait ultimatum tersebut dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum

nya, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal

exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut

, namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.

Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana tersebut

dari beberapa bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada di

Kampemenstraat

juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar

dan segera menghubungi Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.

Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang biasa tentara hilir mudik

keluar masuk kota Bandung pada masa itu, walau Perang kemerdekaan

dianggap sudah berakhir.  Tentara APRA pada saat itu  menggunakan truk,  jeep, motorfiets, serta ada yang berjalan kaki dengan seragam dan bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir antara 500-800  personel.

Namun ketika mereka mengadakan steling di gang-gang di sepanjang jalan Cimahi-Bandung sambil melepas tembakan ke

udara.  Bahkan  ada di antara mereka yang

mengarahkan tembakan  kebeberapa rumah penduduk. Barulah setelah mendengar suara

tembakan tersebut,  warga seketika menjadi was-was. Sejumlah polisi yang menjaga pos-pos sepanjang  jalan raya Cimindi

-Cibereum dilucuti senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat semakin menjadi-jadi, banyak toko dan rumah ditutup dan jalanan pun menjadi sepi.

Di jalan perapatan Banceuy, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak bersenjata diberhentikan. Tentara itu di

perintahkan untuk turun dan mengangkat tangan lalu dengan keji ditembak mati.  Pasukan APRA bergerak di Jalan Braga, di muka Apotheek Rathkam sebuah mobil sedan juga diberhentikan.  Tiga penumpangnya

juga diperintahkan untuk turun, di antara

nya seorang perwira TNI. Tanda pangkat perwira itu diambil dan kemudian dia dibunuh.  Dua orang sipil yang bersama tentara tadi kemudian diangkut  dengan truk.

Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang sebuah truk berisi tiga orang TNI.

Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka, sekalipun tidak seimbang.

Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu TNI di perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan belakang.

Perlawanan yang  cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude Hospitaalweg.  Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste ) Sutoko  dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak.  Benar-benar pertempuran sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko,  Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan diri.  Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara APRA merampok brandkas sebesar F150.000.

Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu rgu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2 dikerubungi oleh ratusan APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam. Pertempuran dilakukan hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu, dan seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA kemudian berhasil menduduki stafkwartier dan membongkar brandkast yang isinya Rp. 150.000, jumlah yang cukup besar untuk saat itu. Selain itu, mayat-mayat dari TNI dan sipil pun bergelimpangan antara jalan Braga hingga jalan Jawa. Di antara orang-orang sipil yang tewas, kabarnya menjadi korban karena mereka berani menjawab €œJogja€, ketika ditanyakan €œPilih Pasundan atau Jogja?€ oleh pasukan APRA.

Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola.  Mereka dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah diduki oleh gerombolan APRA.  Keseluruhan 79 orang menajdi korban  keganasan gerombolan ini.  Mereka adalah 61 serdadu TNI  dan 18 orang lainnya yang tidak diketahui namanya karena tidak mempunyai tanda-tanda  atau surat dalam  pakaiannya.

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.

Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.

Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita

Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "

de zwarte hand van Nederland

" (tangan hitam dari Belanda).
3.
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan Banteng adalah suatu dewan yang dibentuk oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan anggotaKomando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dibentuk pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng adalah untuk pembangunan daerah yang dianggap tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:
1. melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan PresidenNo.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur . Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
4.
Berdasarkan kesepakatan KMB tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan pengakuan kedaulatan negara Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Belanda mengingkari kesepakatan KMB tentang penyelesaian masalah Irian Barat yang rencananya akan dilaksanakan 1 tahun setelah penyerahan kedaulatan.
- Belanda justru memperkuat pertahanan militernya dan menyebarkan isu anti-Indonesia terhadap penduduk Irian Barat.

B.      Perjuangan Bangsa Indonesia dalam Merebut Irian Barat
1.    Perjuangan Diplomasi (perundingan)
a.    Perjuangan diplomasi dengan Belanda
- Belanda memasukkan Irian Barat sebagai bagaian wilayah kerajaannya sehingga perjuangan diplomasi bilateral  mengalami kegagalan.
b.      Perjuangan diplomasi di forum PBB
- Indonesia kalah suara dalam sidang umum PBB karena jumlah negara Asia-Afrika yang menjadi angggta PBB belum sebanyak sekarang
c.       Perjuangan diplomasi di KAA
- Melaksanakan rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta pada tanggal 18 Nov 1957.

2.    Konfortasi politik
a.       Pembatalan perjanjian KMB
- Pembatalan perjanjian KMB dilakukan secara sepihak oleh Indonesia berdasarkan UU No. 23 Tahun 1956 pada tanggal 3 Mei 1956.
b.      Pembentukan provinsi Irian Barat
- Provinsi Irian Barat dibentuk tanggal 17 Agustus 1956 oleh Kabinet Ali Sastroamidjoyo.
- Ibu kota berada di Kota Soa Sui, Tidore, Maluku Utara dan sebagai Gubernur adalah Zainal Abidin Syah dari Kesultanan Ternate.
c.       Pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda
- Terjadi pada tanggal 17 Agustus 1960 dalam pidato Presiden Soekarno yang berjudul €œJalannya Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun dari Langit.€

3.       Konfrontasi Ekonomi
- Hasil rapat umum gerakan pembebasan Irian Barat tanggal 2 Desember 1957 rakyat dan pemerintah melaksanakan aksi konfrontasi sebagai berikut:
i.      Mogok masal para buruh yang kerja di perusahaan Belanda.
ii.     Melarang beredarnya segala bentuk terbitan dan film yang berbahasa Belanda.
iii.   Pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan milik Belanda di Indonesia.
iv.   Memecat warga negara Belanda yang bekerja di pemerintahan Indonesia.
v.    Membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
- Pemerintah mengularkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 tahun 1957 tentang Pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan milik Belanda di Indonesia.

- Perusahaan Belanda yang akan diambilalih yaitu: Perusahaan listrik Philips, Bank Escompto, Percetakan de Unie, Nederlandsche Handel Maatschappij (Bank Dagang Negara), serta perusahaan perkebunan dan pertambangan.

- Melarang seluruh pesawat terbang KLM milik Belanda untuk terbang dan mendarat di Indonesia.

4.       Konfrontasi bersenjata (militer)

a.       Tri Komando Rakyat (Trikora)

- Latar belakang Trikora adalah Belanda mencoba menjadikan masalah Irian Barat sebagai masalah di forum PBB sebagai koloni yang akan dimerdekakan (dekolonisasi).

- Presiden Soekarno mencanagkan  Tri Komando Rakyat (Trikora) pada tanggal 19 Desember 1961 saat pidato rapat raksasa di Jogjakarta dalam rangka pembebesan Irian Barat.

- Isi Trikora:

i.      Gagalkan pembentukan negara boneka bentukan Belanda

ii.     Kibarkan sang merah putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia

iii.   Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air Indonesia

b.      Komando Mandala

- Komando Mandala merupakan realisasi dari Trikora yang dibentuk oleh Presiden Soekarno pada tanggal 2 Januari 1962 di Ujung  Pandang (Makasar).
- Tugas Komando Mandala:
i.      Merencanakan persiapan dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan Provinsi Irian Barat ke dalam kuasaan NKRI.
ii.     Mengembangkan situasi militer di wilayah Provinsi Irian Barat, yakni:
o  Sesuai dengan taraf-taraf perjuangan diplomasi.
o  Dilaksanakan sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat secara de facto dan dapat menciptakan daerah-daerah bebas atas unsur kekuasaan pemerintahan RI.
- Panglima Komando Mandala: Mayjend. Soeharto, wakil panglima I: Kol. (laut) Subono, wakil panglima II: Kol. (udara) Leo Wattimena, dan kepala staff gabungan: Kol. Achmad Tahir.
- Tiga fase strategi operasi militer Komando Mandala:
i.      Fase infltrasi: memasukkan 10 kompi tentara ke Provinsi Irian Barat samapi akhir tahun 1962 dan mengajak raktyat irian Barat untuk ikut membebaskan wilayah :
o  Fak-fak dan Kaimana dengan operasi banteng
o  Sorong dan Terminabuan dengan operasi serigala
o  Marauke dengan operasi naga
o  Sorong, Kaimana, dan Marauke dengan operasi jatayu
ii.     Fase eksploitasi: serangan terbuka mulai tahun 1963 terhadap pangkalan militer musuh dan semua pos pertahanan musuh yang penting.
o   Operasi serangan terbuka tersebut dinamakan Operasi Jayawijaya dengan membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17 yang terdiri dari tujuh gugus tugas yang dipimpin oleh Kol. Sudomo, sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru.
o   Operasi Jayawijaya belum sempat dimulai karena padda tanggal 15 Agustus 1962 tercapai persetujuan perundingan antara RI dan Belanda di markas Besar PBB. Sehingga pada tanggal 18 Agustus 1962 terjadi genjatan senjata.
iii.   Fase konsolidasi: menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat mulai awal tahun 1964.

c.       Peristiwa Laut Aru
- Pada awal fase infiltrasi di Laut Aru (sebelah barat daya Irian Barat) terjadi pertempuran antara tiga Motor Torpedo Boat (MTB) milik Indonesia dengan kapal perusak dan fregat milik Belanda.
- Pada tanggal 12 Januari 1962 kesatuan patroli cepat yang dipimpin oleh Kapten Wiratno melakukan patroli rutin di Laut Arafuru yang terdiri dari tiga buah MTB yaitu:
o   MTB Macan Tutul yang dikomandoi oleh Kapten Wiratno dan Komodor Yosafat Sudarso (Yos Sudarso).
o   MTB Harimau yang dikomandoi oleh Kolonel Sudomo.
o   MTB Macan Kumbang yang dikomandoi pejabat lainnya.

MTB KRI Macan Tutul

sumber: id.wikipedia.org

- Pada tanggal 15 Januari 1962 rombongan patroli Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) tiba di Laut Aru, secara tiba-tiba diserang oleh kapal perusak dan kapal fregat yang dipandu oleh pesawat terbang Neptune dan Firefly milik Belanda.
Firefly

Neptune

sumber: http://archive.kaskus.co.id/thread/9697915/

- MTB Macan Tutul yang dikomdaoi oleh Yos Sudarso melakukan manufer, sehingga pihak Belanda hanya memperhatikan MTB Macan Tutul dan KMB yang lain dapat meloloskan diri. Mendapat serangan yang bertubi-tubi menyebabkan MTB Macan Tutul terbakar dan tenggelam sehingga menggugurkan Kapten Wiratno, Yos Sudarso, dan beberapa awak kapal menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat.


C.      Akhir Perjuangan Bangsa Indonesia dalam Merebut Irian Barat

1.       Persetujuan New York

- Latar belakang: pertempuran terbuka antara Indonesia dan Belanda untuk saling mempertahankan Irian Barat dapat diketahui dunia internasional.

- Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker mengamati kesungguhan Indonesia dalam memperjuangkan Irian Barat. Ia mengajukan

Rencana Bunker yang berisi:

o   Pemerintahan Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.

o   Rakyat Irian Barat diberikan kebebasan untuk memilih tetap berada dalam wilayah RI atau memisahkan diri.

o   Pelaksanaan penyerahan Irian Barat diselesaikan dalam waktu dua tahun.

o   Diadakan masa pengalihan selama satu tahun di bawah pemerintahan PBB untuk menghindari bentrok fisik dan pemulangan militer dan pegawai Belanda.

- Pada tanggal 15 Agustus 1962 di Markas PBB New York diadakan penandatangan perjanjian antara RI dan Belanda menyelesaian masalah Irian barat yang dikenal dengan

Perjanjian New York yang berisi:

o   Belanda menyerahkan Irian Barat kepada pemerintahan sementara PBB United Nations Temporary Authority (UNTEA)

dan penurunan bendera Belanda diganti dengan bendera PBB selambat-lambatnya 1 Oktober 1962.

o   Tenaga-tenaga dari Indonesia (sipil dan militer), putra-putri Irian Barat, dan sisa-sisa pegawai Belanda yang masih diperlukan akan digunakan oleh pemerintahan sementara PBB.

o   Pasukan Indonesia yang sudah berada di Irian Barat diizinkan untuk tetap tingal di Irian Barat, tetapi statusnya tetap di bawah pemerintahan sementara PBB.

o   Angkatan perang Belanda akan dipulangkan berangsur-angsur dan yang belum dipulangkan berada di bawah pengawasan PBB.

o   Diberlakukannya lalu-lintas bebas antara irian Barat dengan wilayah Indonesia lainnya.

o   Pada tanggal 31 desember 1962, bendera Indonesia mulai dikibarkan berdampingan dengan bendera PBB.

o   Pemulangan angota sipil dan militer Belanda harus sudah diselesaikan paling lambat tanggal 1 mei 1963 dan secara remsi Indonesia menerima pemerintahan Irian Barat.

- Sebagai tindak lanjut Perjanjian New york, pemerintahan Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) sebelum akhir tahun 1969.

- Pemerintahan sementara PBB UNTEA pimpinan Jalal Abdoh dari Iran membentuk pasukan keamanan PBB United nations Security Forces (UNSF)

. UNSF yang dipimpin oleh Brigjend. Said Uddin Khaan dari Pakistan bertujuan untuk menjamin keamanan di Irian Barat.

2.       Penyerahan kekuasaan Irian Barat kepada Indonesia

- Penyerahan kekuasaan pemerintahan secara resmi dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1963 di Kota Baru/Holandia (Jayapura).

- Komando Mandala dibubarkan pada hari yang sama dengan tugas terakhir yaitu Operasi Wisnumurti yang bertujuan untuk menyelenggarakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI.

3.       Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat (Papera)

- Diselenggarakan tanggal 14 Juli €“ 4 agustus 1969 di bawah tanggung jawah pemerintah RI dengan tata cara:

o   Pelaksanaan Papera dilaksanakan dengan musyawarah dan mufakat.

o   Pelaksanaan Papera dilaksanakan di setiap kabupaten di Irian Barat.

o   Pembentukan Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dan utusan di setiap kabupaten.

o   Jumlah DMP sebanding dengan jumlah penduduk di masing-masing kabupaten.

o   Setiap 750 jiwa memiliki 1 orang wakil DMP atau setiap kabupaten memiliki minimum 75 orang dan maksimum 175 orang anggota DMP.

- Penentuan pendapat rakyat (Papera) dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

o   Tahap I: Konsultasi tata cara penyelenggaraan Papera dengan dewan kabupaten di Kota Jayapura tanggal 24 Maret 1969.

o   Tahap II: Pemilihan Dewan Musyawarah Papera (DMP) yang berakhir Juni 1969.

o   Tahap III: Melaksanaka Papera mulai dari Kabupaten Marauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura.

- DMP dengan suara bulat memutuskan bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia.

- Hasil Papera dibawa oleh utusan Duata Besar PBB Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada tanggal 29 November 1969.

- Sidang Umum PBB ke-24 menyetujui resolusi Belanda, Malaysia, Thailand, Belgia, Luksemburg, dan Indonesia tentang harapan agar Sidang Umum PBB menerima hasil-hasil papera sesuai dengan perjanjian New York.
5.
Pusat Penerangan TNI -sebagai lembaga resmi yang menghabisi AOI- bahkan memberikan simplifikasi menggelikan. Dalam Diorama Museum Waspada Purbawisesa disebutkan, AOI mulai melakukan rapat-rapat rahasia pada Mei 1950 sebagai persiapan perlawanan terhadap pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dianggap sudah dipengaruhi tokoh-tokoh komunis. Dari rapat itulah kemudian Batalyon Lemah Lanang, Batalyon 423 dan Batalyon 426 (ketiga batalyon ini awal mulanya berasal dari Laskar Hizbullah Sabilillah) mulai mengganggu keamanan di Kedu Selatan. Tentu saja ini rancu dan menggelikan, mengingat sebagian besar tokoh komunis sudah dihabisi pasca kudeta setengah hati di Madiun, September 1948. Dari cerita perjalanan hidup Letkol. Untung a.k.a Kusman (yang pernah saya paparkan di sini), ataupun kisah Dipa Nusantara Aidit, kita tahu tokoh2 komunis baru mulai bermunculan pasca 1950.

KH. Abdurahman Wahid menyebut pemberontakan AOI muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya Perang Kemerdekaan. Namun, peleburan itu disertai embel2, hanya orang2 yang mendapat pendidikan "Sekolah Umum Belanda" saja yang bisa menduduki jabatan komandan batalyon. Syekh Mahfudz Abdurrahman dikatakan berminat terhadap kedudukan komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Namun Syekh Makhfudz terhadang oleh ketiadaan ijazah yang dipunyainya dan karena itu beliau memilih mengobarkan pemberontakan, terlebih ketika jabatan yang diincarnya jatuh ke anak muda ingusan bernama Ahmad Yani. Dalam uraian berikut, akan kita lihat bahwa alasan semacam ini juga simplistik.

Merujuk penuturan KH Afifuddin Chanif al-Hasani dan KH Musyaffa Ali -masing-masing cucu dan menantu Syekh Mahfudz- akar masalah AOI sejatinya terletak pada kebijakan Rera (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang dikumandangkan kabinet Hatta pada 1948 atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Dalam program Rera ini, laskar-laskar perlawanan akan digabungkan menjadi satu ke dalam TNI dan diciutkan personalianya hingga tinggal setengah dari semula. Prioritas ditujukan pada mereka yang mendapatkan pendidikan militer zaman Hindia Belanda maupun Jepang. Sebagai pimpinan badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, dengan massa +/- 10.000 orang dan punya potensi massa tambahan 30.000 orang, Syekh Mahfudz risau dengan kebijakan diskriminatif ini mengingat mayoritas massa AOI memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan berbasis pesantren sehingga berpotensi tereliminir karena tak punya ijazah. Meski sebagian besar massa AOI semula merupakan petani, tak pelak bahwa perjalanan Perang Kemerdekaan telah menarik sebagian diantaranya untuk bermobilitas vertikal menjalani karir militer. Keresahan bertambah mengingat pada 1948 itu Indonesia justru masih berhadapan dengan ancaman kekuatan NICA, yang bagi Syekh Mahfudz sangat nyata, mengingat sebagai ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan langsung di bawah Bupati Kebumen, beliau langsung berhadapan dengan pasukan NICA di garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong timur. Sehingga menurut beliau tidaklah bijak menggagas Rera justru ketika ancaman nyata menghadang di depan mata.

Di diagonal yang berseberangan, keresahan yang sama juga dihadapi faksi sosialis-komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin di Madiun. Namun FDR memilih menyelesaikannya dengan mengobarkan kudeta setengah hati Madiun Affair yang gagal pada September 1948, peristiwa yang menguras energi lasykar-lasykar rakyat dan TNI terlalu banyak untuk menumpasnya. Penumpasan FDR ini membuat Syekh Makhfudz dan PPRK semakin yakin NICA tinggal menunggu waktu saja untuk menjebol garis demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu jauh ke Yogyakarta sebagai ibukota RI.

Keresahan Syekh Mahfudz terbukti ketika NICA menggelar kampanye militer Doorstot naar Djokdja pada 18 Desember 1948, yang berhasil menawan Soekarno-Hatta, menghancurkan kabinet Hatta dan membuat TNI serta lasykar-lasykar tercerai berai. Ini menginisiasi masa Perang Kemerdekaan II yang sekaligus membenamkan ide Rera ala Nasution. Dalam periode inilah peranan AOI kian menanjak dalam percaturan politik dan militer di Jawa Tengah.

Perang usai seiring penandatanganan pengakuan kedaulatan di Istana Rijswik, 27 Desember 1949, sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar. Ini sekaligus menandai berdirinya RIS dengan APRIS sebagai tentara nasionalnya. Pembentukan APRIS membawa konsekuensi tersendiri bagi AOI seiring kembali mencuatnya isu Rera. Dalam pandangan Danang Widayanta, tawaran APRIS agar AOI bergabung kedalamnya melalui Rera yang diskriminatif berpotensi menghasilkan sedikitnya empat ancaman : ancaman eksistensi organisasi, ancaman kehilangan posisi sosial ekonomis, ancaman kehilangan posisi politis dan ancaman kehilangan posisi budaya. Ini menghasilkan kondisi AOI tidak lagi otonom, tidak lagi merasa aman dalam posisinya dan frustrasi dengan masa depannya. Ini yang membuat Syekh Mahfudz menolak bergabung.

Namun dari penuturan KH Afifuddin dan KH Musyaffa, atas bujukan KH Nursodik dan KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh Mahfudz telah bersedia berunding dengan APRIS untuk membicarakan kemana AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang demikian besar. Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah Lanang, yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh Syekh Mahfudz. Syekh Mahfudz sendiri, dengan usianya yang telah mencapai 49 tahun, tidak berminat mengejar posisi komandan batalyon, mengingat dengan kedudukannya sebagai "Rama Pusat", dengan massa AOI dan thariqah Syadzaliyah yang diampunya, beliau sudah menempati posisi natural leader yang kharismanya melampaui batas-batas kabupaten, mengingat pesona AOI juga terasakan hingga Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purworejo, melebihi formal leader Bupati Kebumen yang waktu itu dijabat R.M. Istikno Sosrobusono. Meski demikian, Kuntowijoyo menyebut Syekh Mahfudz memiliki pandangan apolitis, karena itu tak heran beliau membenci partai politik, termasuk Masyumi.

Tapi persoalan tak usai meski Batalyon Lemah Lanang sudah dibentuk. Sebagai batalyon yang beranggotakan para santri, yang dalam perang kemerdekaan mengumandangkan perang suci (jihad) kepada NICA yang dilabeli kafir, Batalyon Lemah Lanang mengalami gegar budaya ketika harus berbaur dengan unit2 lain dalam APRIS yang notabene sebagian besar berisi perwira hasil didikan Militaire Academie Hindia Belanda. Lebih lagi perwira2 itu umumnya berasal dari kelas bangsawan Jawa, yang sejak kecil dijejali pandangan "Islam adalah problem" warisan Sultan2 dan Sunan2 Mataram. Batalyon Lemah Lanang dianggap kaku dalam berprinsip, radikal dan memiliki sudut pandang selalu hitam putih, sementara Batalyon Lemah Lanang sendiri menganggap unit2 di tubuh APRIS banyak mengadopsi kebiasaan kaum kafir Belanda dan banyak faksi didalamnya yang atheis. Beberapa unit yang dianggap atheis adalah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani di Purworejo, disamping Brigade X / Garuda Mataram yang dipimpin Soeharto di Yogyakarta.

Gegar budaya ini makin melebar dan meluas hingga keluar dari skup Batalyon Lemah Lanang. Sampai akhirnya terjadi ejek2an berujung tawuran antara pemuda2 AOI dengan anggota Batalyon Sudarsono, yang menyebabkan 1 pemuda AOI terbunuh. Akibatnya AOI bereaksi dan inilah yang ditanggapi Kol. M. Sarbini di Magelang sebagai indikasi AOI hendak memberontak, sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani menggempur Somalangu.

Tidak tepat jika AOI disebut memberontak. Dalam penuturan KH Afifuddin, KH Musyaffa dan Ibu Zubaidah (keponakan Syekh Mahfudz, kini sudah sangat sepuh), hingga menjelang 1 Agustus 1950 tersebut Syekh Mahfudz sama sekali tidak menyiapkan konsep2 untuk mendirikan negara tersendiri sebagaimana dilakukan SM Kartosuwiryo di Jawa Barat. Meski pernah membicarakan wacana wilayah "Kapoetihan" -semacam Kauman yang diperluas, tempat kediaman orang-orang saleh yang digambarkan menempati daratan sebelah timur Sungai Lukulo hingga perbatasan Purworejo- namun tak ada pembicaraan lebih lanjut, apalagi yang bersifat operasional semacam menyiapkan proklamasi, konstitusi dan angkatan perang tersendiri. Syekh Mahfudz sendiri juga tidak menyiapkan suatu perangkat kaderisasi ataupun suatu exile government andaikata Somalangu sewaktu-waktu diserbu. Beberapa pertemuan memang berlangsung dengan pimpinan Batalyon 423 dan 426 (keduanya sama-sama berasal dari lasykar Hizbullah Sabilillah), namun itu lebih ditujukan pada bagaimana mengantisipasi persoalan di antara sesama lasykar Hizbullah Sabilillah akibat kebijakan Rera yang diskriminatif. Tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah.

Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Syekh Mahfudz ketika Somalangu dikepung rapat pada pagi hari 1 Agustus 1950 dan tanpa ba-bi-bu langsung digempur ala manuver blitzkrieg, tanpa sempat menyiapkan diri. Akibatnya tak ada lagi bangunan di Somalangu, Candiwulan, Candimulyo dan sekitarnya yang masih tegak berdiri. Bahkan masjid kuno berusia 400-an tahun peninggalan Syekh Abdul Kahfi Awwal pun ikut runtuh. Tak ada tempat yang tak terbakar, hingga segala macam jejak tertulis mulai dari arsip2 AOI hingga kitab2 dan kitab suci al-Qur'an pun hangus. Mayat berserakan dimana-mana, mulai dari orang tua, pemuda, ibu-ibu, anak-anak dan bahkan bayi. 1.000-an orang tewas hanya pada hari itu.Tak ada kata yang cocok untuk mendeskipsikan keadaan demikian selain pembantaian teramat keji, yang bisa disetarakan dengan Pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia-Herzegovina.

Meski diserang mendadak, namun Bharatayudha berkobar hingga 3 bulan lamanya. Jika kemudian sisa-sisa Batalyon Lemah Lanang memilih untuk bergabung dengan sisa-sisa DI/TII Abdul Fattah, sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merapi Merbabu Complex) di kaki Gunung Slamet, pilihan ini diambil pasca tertembak dan wafatnya Syekh Mahfudz di Gunung Selok, Cilacap. Dengan kondisi organisasi AOI berantakan, pemimpin tertingginya wafat dan tak ada yang kader bisa menggantikan kharismanya, dengan Somalangu dan Kebumen timur sudah diobrak-abrik amunisi APRIS, tanpa ada tawaran rekonsiliasi dan amnesti agar bisa kembali ke masyarakat sebagai orang baik-baik, serta jikalau menyerah pun akan masuk Nusakambangan tanpa diadili (seperti dialami ratusan massa AOI yang memilih menyerah), maka dalam pandangan saya tak ada pilihan lain yang logis rasional kecuali menyelamatkan diri, bergabung dengan saudara senasib sepenanggungan dan terus bertempur, meski tak jelas lagi bertempur untuk apa.

Pembantaian Somalangu menandai satu babak baru di kalangan pemerintah RIS / NKRI tentang bagaimana menyikapi dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara hantam kromo (main pukul rata). Pasca AOI, di Jawa Tengah, giliran MMC digempur. Di Jawa Timur, satu Batalyon pimpinan KH Yusuf Hasyim (saat itu berpangkat Lettu) pun turut diberangus dengan tuduhan DI/TII dan komandannya ditahan berbulan-bulan tanpa diajukan ke pengadilan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar dengan KRJT-nya (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas) dilucuti dan dituduh DI/TII pula, sementara di Sulawesi Selatan, usulan Abdul Qahhar Muzakar agar lasykar-lasykar asal Sulawesi Selatan yang telah dihimpun menjadi satu dalam KGSS (Keluarga Gerilja Soelawesi Selatan) direkrut ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin ditolak dan digempur seperti AOI. Ini menyisakan trauma dan dendam berkepanjangan. Maka tidak heran jika Dr. Tgk Muhammad Hasan di Tiro, ketika mendirikan Gerakan Atjeh Merdeka pada 1976, merujuk terjadinya "pembantaian oleh bangsa sendiri" sebagai latar belakang.

Yang jelas, pasca AOI, aparat administrasi Kebumen maupun Jawa Tengah tidak belajar lebih jauh dari peristiwa AOI dan lebih memilih melakukan isolasi sosiologis-politis dengan labelisasi "ekstrim kanan" dan "bagian DI/TII" kepada sisa-sisa AOI, garis keturunan Syekh Mahfudz, maupun penduduk Somalangu dan sekitarnya, tanpa tawaran rekonsiliasi. Dengan bupati2 yang mayoritas militer aktif, berasal dari luar Kebumen, tidak belajar lebih lanjut tentang sosiologi masyarakat setempat, terkooptasi dengan Golkar, berpandangan kaku dan main hantam kromo, ini berpuncak pada munculnya peristiwa kelam selanjutnya : Kerusuhan 7 September 1998. Sisa-sisa AOI memang tidak terlibat dalam peristiwa ini, bahkan barisan ulama yang dulu berafiliasi ke AOI justru menjadi penengah yang berhasil meminimalisir jumlah korban.
Angkatan Oemat Islam (AOI) itu suatu gerakan Islam modern yang -meski cenderung revivalis- namun punya potensi besar untuk berkembang dan bersejajar dengan gerakan modern seperti NU maupun Muhammadiyah. Hanya saja, gerakan AOI terlanjur abortif, dalam istilah (alm) Kuntowijoyo, gerakan yang mati muda sebelum gejala-gejala dan tanda-tandanya sempat terucapkan. Namun yang jelas, AOI tidak bisa dilepaskan dari Pesantren al-Kahfi Somolangu. Kebetulan saya kenal baik dengan sebagian keluarga inti Somolangu, ditambah dengan paparan pak Kuntowijoyo (Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Bandung : Mizan) yang aslinya dipaparkan dalam Seminar Sedjarah II tahun 1970, maka kita bisa memperoleh gambaran bagaimana AOI dan Somolangu ini sebenarnya.

Pesantren Somolangu itu pesantren tertua di Kebumen,bahkan di tlatah Jawa Tengah bagian selatan. Selain Somolangu, pesantren tua lain di sini adalah Pesantren Lirap Petanahan dan Pesantren Salafiyyah Wonoyoso. Namun K.H. Ibrohim Nuruddin baru mendirikan Lirap di awal abad ke-20 dan K.H. Nasuha meletakkan pondasi Salafiyyah pasca kepulangannya dari Makkah bersama K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) di awal abad ke-20 juga. Sementara Somolangu didirikan jauh hari sebelumnya, yakni pada ± 1000 H atau 1590 M oleh Syekh Abdul Kahfi Awwal, ulama Hadramaut yang merantau ke Jawa menyokong eksistensi Kerajaan Islam di Jawa dan selanjutnya bermukim di lembah Sungai Kedungbener. Jejak2 arkeologis menunjukkan lembah ini telah dihuni manusia sejak abad ke-8 M, ditandai keberadaan sepasang yoni dan sejumlah lingga dari batu andesit berlanggam Jawa Tengahan (ciri khas abad ke-8 M) yang terpreservasi dengan baik. Lingga dan Yoni, sebagai simbol kesuburan, diketahui hanya didirikan oleh komunitas Hindu (Syiwa) yang besar dan telah menjadikan tempat tersebut sebagai hunian tetapnya. Maka ada asumsi, komunitas Hindun yang terorganisir itulah yang ditemukan Syekh Abdul Kahfi Awwal dan diislamkan

Syekh Kahfi Awwal terkenal egaliter, bahkan konon sampai sekarang meski beliau sudah wafat ratusan tahun silam. Ada cerita tiap kali makamnya yang terletak di Bukit Lemah Lanang (± 2 km sebelah timur Mapolres Kebumen) hendak diberi cungkup atau tetenger seperti umumnya makam2 lainnya, upaya itu tidak pernah berhasil. Cungkup/tetenger selalu ditemukan sudah 'terbang' ke persawahan di sebelah baratnya. Bukit Lemah Lanang sendiri -menurut dugaan saya, meski sangat lemah- kemungkinan dulu bekas candi.

Menurut cerita, nama Somolangu diberikan oleh Raden Patah (Sultan Alam Akbar al-Fatah) dari kerajaan Demak Bintoro, yang mengatakan "tsumma dha'u" (artinya disinilah tempatmu) ketika menghadiahkan tanah di lembah Sungai Kedungbener itu kepada Syekh Kahfi,namun nang ilate wong Jawa (apamaning wong Kebumen) berubah jadi "Samalangu", dan akhirnya jadi "Somolangu" malah kadang jadi "Semlangu". Tapi dalam konteks sejarah, cerita ini rancu, soale Sultan Demak ketiga saja, yakni Sultan Trenggono, telah wafat pada 1546 M saat penyerbuan Pasuruan. Setting waktu yang lebih rasional mengaitkan berdirinya pesantren al-Kahfi Somolangu dengan akhir dinasti Pajang (Sultan Hadiwijaya) ataupun Mataram Islam awal (mungkin era Panembahan Senopati ataupun Panembahan Ratu/Panembahan Seda ing Krapyak).

Maka usia Somolangu jauh melampaui Kebumen sendiri. Bahkan dalam Babad Kebumen disebutkan, Joko Sangkrip, yang kelak menjadi KRT RAA Aroengbinang I yang keturunannya menjadi bupati2 Panjer/Kebumen sejak 1833 hingga masa Perang Dunia II, ikut nyantri di Somolangu di bawah asuhan Syekh Abdul Kahfi Awwal ini (meski diceritakan Joko Sangkrip ini santri mbeling sontoloyo gemaguse babar blas tukang ngintip wong wadon adus).

Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Somolangu mengambil inisiatif berpartisipasi dengan membantu Kesultanan Utsmaniyah Turki (Turki Ottoman). Namun panggung sejarah Somolangu dalam konteks Indonesia Modern, lebih terpapart ketika terjadi peristiwa Angkatan Oemat Islam (AOI) yang menggetarkan pada 1950. AOI ini badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, didirikan tahun 1945, beranggotakan ± 10.000 orang dari Kebumen timur, Purbalingga, Wonosobo dan Purworejo yang menjadi anggota jaringan tarekat Syadzaliyah yang berpusat di pesantren al-Kahfi Somolangu. Koordinasi dilakukan oleh Syekh Mahfudz Abdurrahman, pengasuh ponpes saat itu, yang digelari "Rama Pusat", dengan pelaksana teknisnya K. Sururudin. K. Sururudin ini bapake K.H. Nashiruddin al-Manshur (bupati Kebumen saat ini). Badan ini lalu bergabung dalam pasukan Hizbullah-Sabililla h yang dibentuk ulama-ulama Indonesia dalam upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 dan sempat bertempur habis2an melawan tentara Inggris dan NICA dalam Palagan Ambarawa dan Peristiwa 10 November 1945 Surabaya.

Ketangguhannya teruji ketika AOI (sebagai badan terbesar) berhasil mencegah Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947 bergerak ke Yogya sehingga memaksa Panglima NICA, Jendral Spoor dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Dr. H.J van Mook, membikin garis demarkasi di Sungai Kemit - Gombong, guna menghindari jatuhnya korban tentara NICA lebih besar. Memang garis van Mook ini bobol dalam kampanye militer Doorstot naar Djokdja alias Agresi Militer II 18 Desember 1948, namun pasukan khusus NICA menghadapi perlawanan sangat gigih pejuang Hizbullah-Sabililla h bersama TNI, yang jejak2nya muncul sebagai Palagan Sidobunder, Monumen Kemit dan juga Monumen Jembatan KA Luk Ulo (di barat RSU Kebumen). Meski berhasil menguasai Kebumen dengan bermarkas di Gedung Gembira (dekat Stasiun KA Kebumen), pasukan elit Gajah Merah dan Anjing Hitam NICA tidak pernah bisa menganeksasi Somolangu, meski pondok itu hanya berjarak 2 km dari jalan utama Kebumen - Purworejo. Demikian juga tentara kolonial Hindia Belanda, seabad sebelumnya, yang tak pernah bisa mengontrol Somolangu meski telah mendirikan Benteng Wonosari (sebagai bagian dari sistem benteng stelsel ala de-Kock) di era Perang Diponegoro, yang letaknya bahkan hanya berseberangan sungai terhadap pesantren al-Kahfi.

Meski bertempur bersama, pada periode 1947 - 1948 ini bibit2 pertengkaran AOI dan TNI mulai muncul. TNI - yang didominasi priyayi2 Jawa abangan - menganggap AOI lebih sering menimbulkan masalah, pandangan yang mungkin diturunkan dari Amangkurat I (yang pernah membantai ± 6.000 ulama Kajoran di alun-alun Plered pasca konflik dengan Pangeran Pekik). Yel2 "Allahu Akbar" yang diteriakkan AOI kala melakukan serangan dianggap membuat tentara NICA lebih mudah mengenali sasarannya. Sementara AOI - yang puritan dan mencoba melakukan purifikasi meski tidak seradikal Wahhabi - menganggap perilaku anggota TNI itu 'tidak Islami.' Ada isu pula, pasca Perang Kemerdekaan, AOI dianggap hendak mendirikan suatu "Keputihan", yakni wilayah orang2 saleh yang lokasinya mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen - Purworejo. Namun, walo bermasalah dengan TNI, AOI -khususnya Syekh Mahfudz- menjadi pendukung bahkan berhubungan sangat erat dengan Presiden Soekarno. Soekarno sendiri pula yang menjanjikan AOI "tidak akan diapa-apakan. "

Pertengkaran makin menjurus parah pasca Konferensi Meja Bundar, dimana TNI dan badan2 kelasykaran harus dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). TNI menghendaki AOI diseleksi sebelum memasuki APRIS, sementara Syekh Mahfudz menghendaki AOI langsung masuk. Sebagai kompromi dibentuklah Batalyon Lemah Lanang untuk mengakomodasi pemuda2 AOI yang berminat masuk APRIS. Namun Batalyon ini terasing, terisolir dan tidak disukai di kalangan APRIS yang mayoritas berasal dari TNI.

Namun pertengkaran dengan TNI berubah menjadi permusuhan terbuka di akhir Juli 1950 kala beberapa personel TNI menggebuki anggota Batalyon Lemah Lanang sampai tewas. Aksi itu dibalas pada 31 Juli saat pemuda2 AOI gantian menggebuk personel TNI yang sedang lewat dengan jipnya, juga sampai tewas. Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan, sehingga sore itu juga Syekh Mahfudz diminta datang menghadap Kol. Sarbini di Markas APRIS Magelang. Syekh berjanji esok paginya akan datang menghadap, mengingat hari itu sudah sore dan transportasi sulit. Namun APRIS menganggapnya sebagai pembangkangan sehingga pagi 1 Agustus 1950 itu juga APRIS sudah mengepung Somolangu dan Syekh Mahfudz diultimatum untuk menyerah.

Maka berlangsunglah Bharatayudha. Somalangu dan desa2 disekitarnya menjadi merah berkuah darah, hancur lebur digempur bangsa sendiri. APRIS mengerahkan pasukan besar bersandi "Kuda Putih" (kelak menjadi Yon 404 /Para Banteng Raiders) dibawah pimpinan Kol. Achmad Yani dengan tugas melakukan stelling, menghancurkan segala jenis bangunan yang berdiri di Somolangu dan sekitarnya tanpa peduli apapun isinya. 1.000-an orang tewas hanya di hari itu, dengan total korban keseluruhan 2.000-an jiwa selama perang saudara berkobar 3 bulan. M. Sarbini dan Achmad Yani mengumumkan AOI terkait dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo di Jawa Barat, hal yang tak masuk di akal mengingat Syekh Mahfudz tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan Kartosuwiryo, baik secara langsung ataupun lewat wakilnya di Jawa Tengah (Abdul Fattah, yang mengobarkan perlawanan di Brebes - Tegal - Pemalang). M. Sarbini juga memindahkan ibukota kabupaten ke Karanganyar dan mengorganisir ulama2 Kebumen barat, sehingga muncul nama K.H. Umar Nasir Candi dan K.H. Makmur Tejasari yang "memberikan" legitimasi menggempur Somalangu.

Batalyon Lemah Lanang dan Pasukan Kuda Putih terlibat baku tembak jarak dekat nan dahsyat di sekitar lokasi Mapolres Kebumen sekarang. Konon demikian brutal aksi pasukan Kuda Putih, sehingga Syekh Makhfudz mengucapkan 'kata kutuk' : kelak Achmad Yani bakalan mati menyedihkan.

Akibat kebrutalan ini dan demi menghindari korban lebih besar, Syekh Makhfudz memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke barat, tempat dimana Bandayudha leluhurnya merantau. Namun pada kontak senjata di Gunung Selok (Srandil) Cilacap, Syekh tertembak, meninggal dan dimakamkan di tempat itu. Menjadi ironi bahwa di kemudian hari Gunung Selok ini justru menjadi tempat pertapaan favorit politisi dan petinggi2 militer, termasuk sang big-boss - Soeharto, yang sampe2 membangun helipad khusus.

AOI langsung padam setelah wafatnya Sykh Mahfudz. namun AOI masih menjadi isu sensitif hingga dekade 1970-an. dari cerita (alm) K.H. Durmuji Ibrohim -pengasuh ponpes Lirap hingga 1989- di awal dekade 1970-an itu beliau bersama-sama ulama-ulama kritis Kebumen lainnya sempat diamankan di Makodim selama beberapa bulan, karena isu AOI kembali menghangat dan dikelompokkan ke dalam kutub "ekstrem kanan". Ada juga upaya pengingkaran, yang berlangsung secara sistematis hingga masa kepemimpinan Amin Sudibyo di Kebumen. sebagai contoh, hari lahir Kebumen ditetapkan 1 Januari karena masalah ini, meski banyak bukti menunjukkan sebaiknya menggunakan tanggal berdirinya kadipaten Sruni atau Somolangu sebagai acuan waktu berdirinya Kebumen, karena merujuk runtutan (time-seriesnya) memang seharusnya demikian.

Namun kini stigma ekstrem kanan itu mulai pupus, seiring naiknya K.H. Nashiruddin al-Manshur ke tampuk Bupati Kebumen. Walopun, tak banyak yang mau berbicara atau menyinggung- nyinggung AOI. Satu2nya ilmuwan yang berani meneliti AOI secara komprehensif hanyalah (alm). Kuntowijoyo.

0 komentar:

Posting Komentar